Nilai Luhur Seni Ukir Suku Kamoro di Papua

Nilai Luhur Seni Ukir Suku Kamoro di Papua – Papua tak hanya dikenal dengan destinasi wisatanya yang memukau seperti Raja Ampat. Akan tetapi, mutiara dari timur Indonesia ini juga dikenal akan ragam sukunya.

Selain Suku Dani dan Suku Asmat, Papua masih memiliki suku besar lain yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi dan kebudayaannya yang unik. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Seperti halnya pada Suku Kamoro dengan kekayaan budayanya, antara lain seperti ritual alam, upacara adat, tarian dan lain sebagainya. Salah satu suku asli Papua yang mendiami wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika ini, ternyata juga dikenal akan kemampuan seni ukirnya yang mumpuni. Suku Kamoro merupakan salah satu suku asli Papua yang masih memegang teguh tradisi, salah satunya seni ukiran dan pahat. slot online indonesia

Nilai Luhur Seni Ukir Suku Kamoro di Papua

Bahkan, tradisi mengukir dengan memakai pahatan khusus ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Berbagai karya seni ukir Suku Kamoro pun dipamerkan lewat Pameran Budaya Suku Kamoro yang digelar pada 6-7 Desember 2019 di Dharmawangsa, Jakarta. Yayasan Lontar bekerjasama dengan Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe dan PT Freeport Indonesia (PTFI) menyelenggarakan “Pameran dan Lelang Seni Ukir dan Anyaman Suku Kamoro” pada Kamis, 5 Desember 2019, di Darmawangsa Residence.

Menurut Founder Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Luluk Intarti, setiap ukiran atau patung yang dibuat memiliki korelasi dengan marga pada tiap Suku Kamoro. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Lontar, Yuli Ismartono, karya seni ukir dan anyam merupakan bentuk penuturan yang dilakukan Suku Kamoro dalam mewariskan budaya dan kearifan lokal ke generasi berikutnya.

“Cuma biasanya di setiap kampung ada yang namanya Taparu atau kelompok marga, nah kelompok marganya punya korelasi dengan apa, kalau sama buaya nanti motif atau ada ciri khas buaya, kalau ada korelasinya kayak ikan, ada yang berbentuk ikan. Jadi punya totem atau simbol, simbolnya bisa hewan bisa tumbuhan. Ciri dari marga itu,” ujar Luluk saat ditemui kumparan beberapa waktu lalu.

Ia pun menambahkan, setiap karya seni yang dibuat juga bergantung dengan imajinasi sang pengrajin.

“Kita enggak bisa ngomong, kampung ini apa cirinya. Tapi, semua mirip cirinya, karena based on cerita rakyat terus nanti imajinasinya kayak apa,” imbuhnya.

Luluk pun mengungkapkan masing-masing karya seni ini memiliki keunikan tersendiri, dan memiliki kisah di balik ukiran tersebut. Seperti salah satunya kisah dua saudara yang bertengkar karena sebuah telur burung.

Konon, pada suatu waktu, ada seorang kakak beradik yang sedang berburu ke hutan karena mereka tidak bisa mendapat hewan buruan, tiba-tiba sang kakak melihat di atas pohon tinggi ada sarang burung.

Sang kakak pun menyuruh adiknya untuk memanjat sulur pohon tersebut untuk mengambil telur burung tersebut.

Nilai Luhur Seni Ukir Suku Kamoro di Papua

“Adiknya kasih turun satu telur, kakaknya bilang ‘kenapa kamu kasih turun telur yang kecil di sana kamu ambil yang besar kan?’. Adiknya bilang ‘enggak itu yang besar saya kasih turun ke bawah untuk kamu’ akhirnya keduanya bertengkar. Kakaknya potong sulur pohon tersebut dan berkata mulai sekarang kamu tinggal di atas, saya tinggal di bawah,” cerita Luluk.

Lalu, sang adik menangis di atas pohon tersebut dan mengakui kesalahannya. Tak lama kemudia, ada dua ekor ular muncul hendak membantunya turun dari pohon tersebut dengan melilitkan badanya di pohon yang lain.

“Karena ularnya kecil dia enggak mampu dan akhirnya memanggil siluman ular naga dan melilit dua pohon ini dan akhirnya dia bisa turun,” imbuh Luluk.

Luluk pun mengungkapkan, ada beberapa karya seni atau ukiran yang dibuat melalui proses ritual terentu. Salah satunya adalah ukiran yang bernama ‘mbitoro’. Ia pun menjelaskan, setiap melakukan sesuatu di Kamoro biasanya dilalui ritual-ritual tertentu.

“Seperti yang saya bilang tadi, ada korelasi sama hewan, tumbuhan atau alam. Jadi misalnya dia mau tebang pohon, pohon itu rohnya punya korelasi dengan marga tertentu, maka dia harus panggil orang dari marga itu untuk potong pohon itu. Permisi ke leluhurnya, sambil disebutkan tujuannya apa, baru boleh dilakukan penebangan. Baru setelah ditebang, dibuat gambaran motif. Jadi ini biasanya tertentu, seperti Mbitoro harus izin leluhur,” papar Luluk.

Mbitoro sendiri merupakan salah satu karya seni yang dipamerkan sekaligus dijual dalam pameran tersebut. Patung setinggi 4-5 meter itu sendiri dijual dengan harga sekitar Rp 25 juta.

Meski terbilang cukup mahal, Luluk pun mengungkapkan seluruh karya seni yang terjual di pameran tersebut akan dialokasikan untuk pelestarian budaya dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Selain itu, setiap ukiran atau pahatan tersebut juga akan disortir sesuai dengan klasifikasi yang ada. Biasanya, kayu besi atau kayu ulin menjadi bahan dasar dari pembuatan karya seni tersebut. Kayu tersebut dipilih karena dianggap memiliki bahan yang kuat.

“Halus tidaknya, punya cerita rakyat apa, dari sisi imajinasinya dia (seniman), bahan baku yang dipakai, pewarnaan, komposisinya sudah pas apa belum,” imbuh Luluk.

Sempat berbincang dengan salah satu masyarakat asli Suku Kamoro sekaligus pengrajin bernama Daniel Eduardus Matameka yang berasal dari Timika dan salah satu karya yang dibuatnya diberi nama wemawe.

“Dia posisi duduk (orang), dia punya topi, semua ini kita semua pakai motifnya dari makanan khas Kamoro macam ikan, karaka (kepiting). Kalau ini kita bikin sehari saja,” cerita Daniel.

Daniel pun mempelajari seni ukir dari sang ayah sejak usia 15 tahun.

Dalam pameran ini juga terdapat berbagai macam seni ukir seperti wemawe, mbitoro, pekoro plate, yamate tikiri, upao, hingga etae atau noken. Dengan total 150 pieces anyaman dan ukiran.

Sementara itu, menurut Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata, Pemerintah Kabupaten Mimika, Muhammad Thoha, pameran kebudayaan ini diharapkan bisa mengenalkan Suku Kamoro seluas-luasnya.

“Melalui kegiatan ini dapat mengangkat harkat dan martabat Suku Kamoro, suku asli kami di Mimika, melalui seni pahat, ukir, tari dan sebagainya. Kami harapkan akan ada event ini bisa diadakan secara berkala dan terjadwal,” pungkas Thoha.

Luluk pun mengungkapkan, bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat Suku Kamoro terdapat culture tour di mana mereka diajak untuk tinggal selama beberapa hari di sana.

Berbagai macam bentuk ukiran dipamerkan dalam event ini, mulai dari perisai, dayung, mangkuk sagu, gendang, dan barang-barang sehari-hari lainnya. Mereka juga membuat ukiran khusus yang disebut Wemawe, patung yang berbentuk manusia dan Mbitoro, totem yang dibuat untuk para leluhur.

Ukiran Kamoro kini memiliki kualitas yang tidak kalah dengan ukiran Asmat. Sinergi antar pemangku kepentingan di Timika bagi pengembangan ukiran Kamoro seperti yang dilakukan melalui event ini, dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Kamoro,” tutur Muhammad Thoha. Selain pameran, lelang ukiran juga akan diselenggarakan dalam acara ini. Masing-masing karya seni memiliki keunikan tersendiri, dan memiliki kisah di balik ukiran tersebut.